Sesaat setelah Gubernur Jakarta mengeluarkan kata-kata sumpah serapah terkait dengan tuduhan yang ditujukan kepada sang sitri yang dikatakan meneria dana SCR, maka masyarakat pun ramai menanggapinya. Dalam hal ini justru media luput dari titik bidik disiarkannya kata-kata umpatan yang keluar dari mulut sang gubernur. Justru Ahok, sang gubernurlah yang ramai diperbincangkan. Etika sang gubernur yang lebih disoroti. Sementara etika media yang menyiarkannya terlupakan. Salah satu umpatan sang gubernu DKI Jakarta itu adalah kata “tahi” yang merujuk pada tinja, kotoran manusia.
Apabila kita masih mau menyempatkan diri menengok ke belakang, sejatinya kata “tahi” ini pernah muncul dan bahkan sempat merebak sebagai sebuah julukan di wilayah Ibukota tersebut. Yaitu semenjak masih jayanya Kerajaan Mataram.
Penyerbuan Batavia
Dalam sejarah Jakarta yang masa lampau dikenal dengan nama Batavia. Memang awalnya dikenal pula dengan nama Jayakarta, namun seiring dikuasainya oleh pihak Hindia Belanda, Batavia menjadi nama penggantinya.
Semasih bernama Batavia, kerajaan Mataram di bawah pemerintahan Sultan Agung sempat mengadakan penyerbuan kota Batavia yang meskipun ada di tangan Belanda namun secara wilayah masih berada di bawah Kesultanan Banten. Penyerbuan pasukan Mataram atas Batavia ini dilaksanakan sampai dua kali, yaitu pada tahun 1628 dan 1629.
Pertempuran Tahi
Buku Terbitan tahun 1665
Pada proses penyerbuan tentara Mataram kepada pihak Batavia tersebut ada satu kejadian yang sulit dilupakan. Kejadian yang juga pernah ditulis dalam sebuah buku yang terbit pertama kali tahun 1665 di Belanda, hasil karya penjelajah Belanda, Johan Nieuhof (1618-1672), Het Gezandtschap der Neêrlandtsche Oost-Indische Compagnie, aan den grooten Tartarischen Cham, den tegenwoordigen Keizer van China (Kedutaan Besar dari Kongsi Dagang Belanda Republik Belanda kepada Tartar Cham, Kaisar Cina).
Tahi Sebagai Senjata Dadakan
Serangan yang dilakukan pasukan mataram memang tak tangung-tanggung, sehingga mampu membuat porak-poranda serdadu Batavia. Hingga pada akhirnya membuat kuwalahan pertahanan Hollandia yang dipimpin oleh sersan asal Jerman, Hans Madelijn. Mereka sampai kehabisan senjata demi bertahan dan membendung serbuan pasukan Mataram.
Tatkala tak memiliki peluru dan senjata ditambah lagi hanya ada 15 serdadu yang masih tersisa, maka timbul ide sinting yang dilontarkan oleh sang komandan Hans. Ketika tak bersenjata, Hans dan 15 pasukan Batavia tetap bertahan dan melakukan pembalasan, yaitu dengan melemparkan segala macam benda yang bisa dipakai untuk membalas serangan, termasuk isi tangki kakus.
Informasi sejarah itu bukan saja dibenarkan oleh Parakitri T. Simbolon dalam “Menjadi Indonesia,” akan tetapi juga diungkapkan oleh Sejarawan Adolf Heuken dalam “Historical Sites of Jakarta.” Ia memberikan catatan pernyataan bahwa “saat mereka diserang oleh peluru jenis baru ini, orang-orang Jawa langsung melarikan diri sambil berteriak jengkel, “0, seytang orang Hollanda de bakkalay samma tay.”
Ialah ungkapan berbahasa Melayu pertama yang tercatat dalam buku hasil tulisan orang Jerman, di mana kalimat itu memiliki arti “Oh, Belanda setan, kalian berkelahi pakai tahi!”
Penyebab Mundurnya Pasukan
Melihat mundurnya pasukan Mataram dalam menghadapi pasukan Batavia itu bahkan juga dipaparkan dalam buku “Puncak Kekuasaan Mataram” yang ditulis oleh Hermanus Johannes, ia menyatakan bahwa Politik Ekspansi Sultan Agung mengatakan kejadian itu dijadikan dalih untuk menghentikan pengepungan. Hanya saja ada pendapat lain, yaitu pemaparan de Graaf yang mengutip catatan penulis Belanda, Francois Valentijn (1666-1727), bahwa bukan karena serangan “tahu” semata yang menyebabkan pasukan Mataram mundur. Lain dari Valentijn melihat mereka mundur adalah karena pasukan Mataram mengetahui akan datangnya pasukan pembebasan dari kota.
Julukan Kota Tahi
Akibat dari gagalnya pasukan Mataram menghancurkan Sersan Hans Madelijn dan pasukannya, maka mereka pulang dengan tangan hampa. Bahkan terlunta-lunta karena badannya juga beraroma tinja. Dari kejengkelan yang dialami itu, selanjutnya para pasukan Mataram kemudian menjuluki Batavia sebagai “Kota Tahi”, baik dalam artian umpatan dan sumpah serapah atas kekelahan dalam perang, ataupun merujuk peristiwa konyol yang mereka alami di benteng Hollandia tersebut.
Julukan ‘Kota Tahi’ tak berhenti di situ, namun tetap berlangsung lama, setidaknya hingga awal abad 19. Hal itu sebagaimana diungkapkan oleh Letnan Gubernur Thomas Stamford Raffles (1781-1826) yang menulis buku “History of Java.” Di dalam bukunya tersebut Raffles menuliskan tentang julukan “Kota Tahi” yang masih tetap digunakan oleh orang-orang Jawa.
Kampung berjuluk “Kota Tahi” itu sejatinya tetap eksis lama, hingggga pada akhirnya namanya menghilang pada pertengahan abad 19 juga. Letak dari bekas situs benteng Hollandia ini tak lain adalah area Glodok yang kini banyak berdiri pusat-pusat perbelanjaan.
Sumber : ensiklo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar